Sumber keuangan perbankan yang disalurkan untuk kredit konsumsi semakin didominasi dana asing.
Hampir dalam setiap kesempatan pemerintahan SBY mengampanyekan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi. Tampaknya pertumbuhan ekonomi ini adalah satu satunya prestasi pemerintah saat ini. Ini karena dalam bidang lain pemerintahan oleh banyak kalangan dinilai tidak memiliki prestasi yang dapat dibanggakan.
Hampir dalam setiap kesempatan pemerintahan SBY mengampanyekan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi. Tampaknya pertumbuhan ekonomi ini adalah satu satunya prestasi pemerintah saat ini. Ini karena dalam bidang lain pemerintahan oleh banyak kalangan dinilai tidak memiliki prestasi yang dapat dibanggakan.
Memang benar, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 6 persen,
lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi global. Namun
jika ditelisik lebih dalam pertumbuhan yang dicapai oleh pemerintahan
SBY dihitung dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun selama delapan tahun terahir pemerintah gagal mengatasi
pengangguran dan kemiskinan. Angka kemiskinan terus bertambah hingga 110
juta jiwa, diukur dengan pendapatan UD$ 2 dolar Purchasing Power Parity
(PPP). Sementara pengangguran juga semakin tinggi. Sebanyak 75 persen
pekerja hidup di sektor informal. Di tengah APBN yang tinggi,
infrastuktur dasar rakyat justru rusak parah.
Mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa pertumbuhan yang tinggi tidak
menyejahterakan rakyat? Pertanyaan ini sesungguhnya memiliki jawaban
yang sederhana. Pertumbuhan ekonomi Indonesia didasarkan pada
perhitungan PDB yang justru sebagian besar tidak dikontribusikan oleh
rakyat Indonesia. Pertumbuhan yang didasarkan PDB inilah yang
menyesatkan.
'
Bagaimana PDB dihasilkan? Rumus PDB berdasarkan pendekatan
pengeluaran adalah Y = C + I + G + (X – M). Jika diamati lebih mendasar
seluruh faktor penyumbang PDB bersifat membahayakan ekonomi dan
sekaligus merusak tatanan sosial dan lingkungan.
Perhatikan anatomi dari faktor-faktor pembentuk PDB Indonesia
tersebut: C (Consumtion), pertumbuhan dalam konsumsi ditopang oleh
kredit konsumsi, seperti credit card, kredit perumahan, kredit properti,
yang saat ini telah berada pada tingkat membahayakan jika terjadi
kredit macet, dikarenakan rendahnya upah, produksi, dan produktivitas
nasional.
Kredit macet berpotensi meluluhlantakkan perbankan dan perekonomian
nasional. Selain itu, sumber keuangan perbankan yang disalurkan untuk
kredit konsumsi semakin didominasi dana asing sehingga dapat menjadi
faktor pemicu bangkrutnya sektor keuangan nasional akibat terlilit
utang.
Selanjutnya faktor I (Investasi), jika diamati 75 persen investasi
langsung (FDI) di Indonesia berasal dari investasi luar negeri.
Sementara investasi sektor keuangan derivatif seperti bursa sahan dan
pasar keuangan lainnya hampir 50 persen asing. Investasi dalam surat
utang pemerintah mayoritas adalah asing. Investasi pada sektor keuangan
melahirkan kerentanan ekonomi yang tinggi.
Investasi dalam pertambangan, minyak, dan batu bara yang mengeruk
bahan mentah untuk keperluan ekspor menjadi sumber utama dominasi dan
eksploitasi modal asing atas kekayaan alam Indonesia.
Sementara G (Pengeluaran Pemerintah) adalah pengeluaran pemerintah
selalu ditopang oleh utang luar negeri yang terakumulasi semakin besar.
Pemerintah menetapkan sistem anggaran defisit dan memburu utang untuk
meningkatkan APBN. Sementara APBN menerima beban bunga dan cicilan utang
pokok yang tinggi, yang menyebabkan APBN akan ambruk jika tidak ada
utang baru.
Saat ini utang luar negeri telah mencapai Rp 2.000 triliun atau 130
persen dari APBN. Akibatnya APBN Indonesia sangat rentan terhadap
pergerakan nilai tukar. Sisi lain APBN Indonesia sebagian besar 70-80
persen hanya untuk pembiayaan rutin, gaji, tunjangan pemerintah, dan
DPR, akibatnya peningkatan APBN tidak memiliki korelasi dengan
kesejahteraan rakyat.
Yang paling membahayakan adalah X – M (Ekspor – Impor) di mana ekspor
Indonesia ditopang oleh ekspor bahan mentah hasil tambang, migas,
perkebunan, yang hasil dan keuntungannya dinikmati oleh segelintir
perusahaan asing sebagai pelaku ekspor hasil pertambangan, migas,
perkebunan. Parahnya ekspor yang dilakukan oleh investor asing dihitung
sebagai ekonomi nasional.
Sisi lain Indonesia melakukan impor pangan, dan hasil industri dari
negara maju. Indonesia terus mengalami defisit perdagangan dalam
beberapa bulan terahir. Expor raw material telah menyebabkan kerusakan
lingkungan yang semakin parah dan konflik agraria yang meluas. Sementara
impor hasil industri telah menyebankan petani semakin miskin dan
industri nasional kolaps.
Jika didalami, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir selain palsu, juga membahayakan karena sumber pertumbuhannya
bersifat merusak baik dalam dimensi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Pertumbuhan ekonomi ini sama persis dengan watak ekonomi kolonial.
Dalam rezim yang berkuasa saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia
justru semakin memiskinkan rakyat. Tidak hanya itu, pertumbuhan yang
besar akan menjadi malapetaka bagi generasi sekarang dan generasi yang
akan datang. (Sumber : Sinar Harapan, 28 Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar