Sistem ekonomi kerakyatan melalui wadah gerakan koperasi Indonesia
Dalam UU no.25 tahun 1992 tentang perkoperasian, yang dimaksud dengan
koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan
hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas
asas kekeluargaan. Dalam UU no.25 tahun 1992 disebutkan bahwa Koperasi
bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan
Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan
perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama
Koperasi. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada
kekuatan ekonomi rakyat, dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai
kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan
(popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa
saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut
sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor
pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus
mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Secara ringkas Konvensi
ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi
tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam
mempertahan kehidupannnya.
Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan
berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam
mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas
ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain
pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan
lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan
dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan
pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan
untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya
sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri
dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang
ada. Sistem ekonomi kerakyatan : masyarakat memegang aktif dalam
kegiatan ekonomi, sedangkan pemerintah menciptakan iklim yang sehat bagi
pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha. Ciri2 Sistem Ekonomi Kerakyatan : – Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan
prinsip persaingan yang sehat – Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai
keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup. – Mampu mewujudkan
pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan – Menjamin
kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja – Adanya perlindungan
hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari
para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh
negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori
pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan
di negara negara kawasan Eropa ternyata telah menimbulkan kenyataan lain
di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari
pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat
paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat
menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di
kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial
ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan
berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada
pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas,
tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang
berintikan pada manusia pelakunya. Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih
luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki
lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah
dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi
rakyat seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang
memperoleh pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan
yang tidak berusaha menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia.
Teori-teori ekonomi mikro maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa
upaya menggali data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena
contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran
relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak
ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya Menteri
Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika
Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun
tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”,
sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan
sebagai bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang
sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung. Ekonomi rakyat
sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki
daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga
internasional. Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan 30-an
ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya harga
ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya. Pada zaman pendudukan
Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan
pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang
ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam
hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar
menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan
dalam negeri maupun ekspor.
Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing
mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan
Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang
pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik
petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat
karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis
dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting
pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi
antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI
ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang
sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami
padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan
pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka di mana pun petani memilih
menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan
produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres
TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat
kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di
Jawa termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
Demikian sejarah ekonomi rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka,
namun tidak banyak pakar mengenalnya karena para pakar, khususnya
pakar-pakar ekonomi, memang hanya menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor industri dengan hubungan antara faktor-faktor
produksi tanah, tenaga kerja, dan modal serta teknologi yang jelas dapat
diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan
faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar
ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
Sumber :
- UU No.25 tahun 1992 tentang Perkoperasian
- Jurnal ekonomi rakyat (makalah Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE – UGM)