Kamis, 18 April 2013

Sistem ekonomi kerakyatan melalui wadah gerakan koperasi Indonesia

Sistem ekonomi kerakyatan melalui wadah gerakan koperasi Indonesia

Dalam UU no.25 tahun 1992 tentang perkoperasian, yang dimaksud dengan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam UU no.25 tahun 1992 disebutkan bahwa Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama Koperasi. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat, dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya.

 Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada. Sistem ekonomi kerakyatan : masyarakat memegang aktif dalam kegiatan ekonomi, sedangkan pemerintah menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha. Ciri2 Sistem Ekonomi Kerakyatan : – Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat – Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup. – Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan – Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja – Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

 Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya. Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi mikro maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa upaya menggali data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya Menteri Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung. Ekonomi rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya. Pada zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

 Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia. Demikian sejarah ekonomi rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak banyak pakar mengenalnya karena para pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi, memang hanya menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor industri dengan hubungan antara faktor-faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan modal serta teknologi yang jelas dapat diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
Sumber :
- UU No.25 tahun 1992 tentang Perkoperasian
- Jurnal ekonomi rakyat (makalah Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE – UGM)

Mengapa Pertumbuhan Ekonomi Memiskinkan?

Sumber keuangan perbankan yang disalurkan untuk kredit konsumsi semakin didominasi dana asing.
Hampir dalam setiap kesempatan pemerintahan SBY mengampanyekan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi. Tampaknya pertumbuhan ekonomi ini adalah satu satunya prestasi pemerintah saat ini. Ini karena dalam bidang lain pemerintahan oleh banyak kalangan dinilai tidak memiliki prestasi yang dapat dibanggakan.
Memang benar, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 6 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi global. Namun jika ditelisik lebih dalam pertumbuhan yang dicapai oleh pemerintahan SBY dihitung dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun selama delapan tahun terahir pemerintah gagal mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Angka kemiskinan terus bertambah hingga 110 juta jiwa, diukur dengan pendapatan UD$ 2 dolar Purchasing Power Parity (PPP). Sementara pengangguran juga semakin tinggi. Sebanyak 75 persen pekerja hidup di sektor informal. Di tengah APBN yang tinggi, infrastuktur dasar rakyat justru rusak parah.
Mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa pertumbuhan yang tinggi tidak menyejahterakan rakyat? Pertanyaan ini sesungguhnya memiliki jawaban yang sederhana. Pertumbuhan ekonomi Indonesia didasarkan pada perhitungan PDB yang justru sebagian besar tidak dikontribusikan oleh rakyat Indonesia. Pertumbuhan yang didasarkan PDB inilah yang menyesatkan.
'
Bagaimana PDB dihasilkan? Rumus PDB berdasarkan pendekatan pengeluaran adalah Y = C + I + G + (X – M). Jika diamati lebih mendasar seluruh faktor penyumbang PDB bersifat membahayakan ekonomi dan sekaligus merusak tatanan sosial dan lingkungan.
Perhatikan anatomi dari faktor-faktor pembentuk PDB Indonesia tersebut: C (Consumtion), pertumbuhan dalam konsumsi ditopang oleh kredit konsumsi, seperti credit card, kredit perumahan, kredit properti, yang saat ini telah berada pada tingkat membahayakan jika terjadi kredit macet, dikarenakan rendahnya upah, produksi, dan produktivitas nasional.
Kredit macet berpotensi meluluhlantakkan perbankan dan perekonomian nasional. Selain itu, sumber keuangan perbankan yang disalurkan untuk kredit konsumsi semakin didominasi dana asing sehingga dapat menjadi faktor pemicu bangkrutnya sektor keuangan nasional akibat terlilit utang.
Selanjutnya faktor I (Investasi), jika diamati 75 persen investasi langsung (FDI) di Indonesia berasal dari investasi luar negeri. Sementara investasi sektor keuangan derivatif seperti bursa sahan dan pasar keuangan lainnya hampir 50 persen asing. Investasi dalam surat utang pemerintah mayoritas adalah asing. Investasi pada sektor keuangan melahirkan kerentanan ekonomi yang tinggi.

Investasi dalam pertambangan, minyak, dan batu bara yang mengeruk bahan mentah untuk keperluan ekspor menjadi sumber utama dominasi dan eksploitasi modal asing atas kekayaan alam Indonesia.
Sementara G (Pengeluaran Pemerintah) adalah pengeluaran pemerintah selalu ditopang oleh utang luar negeri yang terakumulasi semakin besar. Pemerintah menetapkan sistem anggaran defisit dan memburu utang untuk meningkatkan APBN. Sementara APBN menerima beban bunga dan cicilan utang pokok yang tinggi, yang menyebabkan APBN akan ambruk jika tidak ada utang baru.
Saat ini utang luar negeri telah mencapai Rp 2.000 triliun atau 130 persen dari APBN. Akibatnya APBN Indonesia sangat rentan terhadap pergerakan nilai tukar. Sisi lain APBN Indonesia sebagian besar 70-80 persen hanya untuk pembiayaan rutin, gaji, tunjangan pemerintah, dan DPR, akibatnya peningkatan APBN tidak memiliki korelasi dengan kesejahteraan rakyat.

Yang paling membahayakan adalah X – M (Ekspor – Impor) di mana ekspor Indonesia ditopang oleh ekspor bahan mentah hasil tambang, migas, perkebunan, yang hasil dan keuntungannya dinikmati oleh segelintir perusahaan asing sebagai pelaku ekspor hasil pertambangan, migas, perkebunan. Parahnya ekspor yang dilakukan oleh investor asing dihitung sebagai ekonomi nasional.
Sisi lain Indonesia melakukan impor pangan, dan hasil industri dari negara maju. Indonesia terus mengalami defisit perdagangan dalam beberapa bulan terahir. Expor raw material telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang semakin parah dan konflik agraria yang meluas. Sementara impor hasil industri telah menyebankan petani semakin miskin dan industri nasional kolaps.

Jika didalami, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir selain palsu, juga membahayakan karena sumber pertumbuhannya bersifat merusak baik dalam dimensi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Pertumbuhan ekonomi ini sama persis dengan watak ekonomi kolonial.
Dalam rezim yang berkuasa saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru semakin memiskinkan rakyat. Tidak hanya itu, pertumbuhan yang besar akan menjadi malapetaka bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. (Sumber : Sinar Harapan, 28 Desember 2012)

Bank Dunia Solusi Rakyat Miskin Menolak Tenaga Nuklir

 
 
Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim dalam kunjungannya ke Korea Selatan, 14-16 Oktober 2012, menyatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya, tidak mendukung pembangkit tenaga nuklir dan lebih berfokus kepada energi berkelanjutan.
“Bank Dunia tidak menyediakan dukungan untuk tenaga nuklir. Fokus kami adalah kepada energi berkelanjutan. Energi selalu merupakan konsep yang sulit, karena kita selalu terus-menerus menyeimbangkan, antara kebutuhan energi dengan segera dan keprihatinan kita yang mendalam mengenai perubahan iklim,” kata Jim Yong Kim dalam transkrip konferensi persnya.

Jim Yong Kim mengemukakan, Bank Dunia bersama-sama dengan Majelis Umum PBB, meluncurkan inisiatif yang disebut dengan “Sustainable Energy for All” (Energi Berkelanjutan untuk Semua). Inisiatif tersebut, benar-benar menyiratkan hal yang menjadi keprihatinan banyak pihak, mengenai bagaimana masyarakat membutuhkan energi untuk pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan terkait dengan Korea Selatan, Presiden Bank Dunia menyatakan kekagumannya tentang kemajuan yang telah dicapai Korea Selatan. Antara lain dilihat dengan meningkatnya pendapatan per kapita dari sekitar 70 dolar AS pada 1950-an, menjadi lebih dari 20 ribu dolar AS saat ini. Selain itu, Korea Selatan saat ini juga telah dikenal sebagai salah satu pemimpin global dalam industri teknologi negara-negara maju. Korea Selatan pada 1963 menerima pinjaman pertamanya dari Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA), lembaga cabang dari Grup Bank Dunia yang menyediakan pinjaman bagi negara-negara termiskin di dunia. Sedangkan kini, Korea Selatan merupakan donor terbesar ke-17 kepada IDA, dan termasuk dari 25 kontributor terbesar kepada Grup Bank Dunia secara keseluruhan.
“Saat ini, Korea dan Grup Bank Dunia memperluas kemitraan dalam banyak area pembelajaran bersama dan aksi pembangunan, termasuk jasa finansial, teknologi informasi dan komunikasi, pertumbuhan hijau,” katanya.

Sebelumnya, Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa Ban Ki-moon Kamis (11/10) melontarkan dukungannya, kepada konferensi yang bertujuan menciptakan Timur Tengah bebas senjata nuklir, dan mendesak semua negara di kawasan itu untuk menghadiri konferensi tersebut.
Finlandia siap menjadi tuan rumah pertemuan di Helsinki pada Desember, yang Ban sambut sebagai kesempatan “unik bagi semua negara di kawasan itu untuk secara kolektif meningkatkan keamanan mereka”. Pemimpin PBB juga menyambut komitmen dari Liga Arab, untuk mempertimbangkan konferensi “dengan cara yang serius dan konstruktif.” Baik Israel maupun Iran berencana untuk menghadiri pertemuan itu.